8 Fakta Mengejutkan Di Putusan Lukas Enembe Yang Jauh Lebih Ringan

by -44 Views

Vonis mantan Gubernur Papua Lukas Enembe yang terbukti bersalah di kasus suap dan gratifikasi, penuh kejutan. Ia divonis 8 tahun penjara.

“Mengadili, menyatakan Terdakwa Lukas Enembe terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan gratifikasi,” kata hakim ketua Rianto Adam Pontoh di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (19/10/2023).

“Menjatuhkan pidana atas diri terdakwa Lukas Enembe dengan pidana penjara 8 tahun,” lanjutnya.

Berikut sejumlah fakta terkait sidang vonis Lukas Enembe:

Hakim juga menghukum Lukas membayar pidana denda Rp 500 juta subsider 4 bulan. Lukas dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP dan Pasal 12B UU Pemberantasan Korupsi.

Hakim juga memvonis hak politik Lukas Enembe dicabut. Hak politik untuk dipilih, dicabut selama 5 tahun.

“Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak Terdakwa menjalani pidana pokoknya,” kata Rianto.

Hakim berpendapat, pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun itu cukup beralasan hukum. Sebab, perbuatan Lukas, kata hakim telah mencederai kepercayaan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, jaksa penuntut umum pada KPK meyakini Lukas Enembe menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp 46,8 miliar. Jaksa menuntut Lukas Enembe dijatuhi hukuman 10,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, uang pengganti Rp 47,8 miliar, dan pencabutan hak politik 5 tahun.

“Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan Terdakwa Lukas Enembe terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima hadiah atau janji,” kata jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/9).

“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Lukas Enembe dengan pidana penjara 10 tahun dan 6 bulan,” imbuhnya.

Jaksa meyakini Lukas melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ada sejumlah hal yang memberatkan vonis Lukas Enembe. Lukas dinilai bersikap tak sopan selama persidangan.

“Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terdakwa bersikap tidak sopan dengan mengucapkan kata-kata tidak pantas dan makian dalam ruang persidangan,” kata Rianto.

Hakim Rianto mengatakan hal meringankan vonis adalah Lukas belum pernah dihukum. Kemudian, Lukas juga mengikuti persidangan meski dalam kondisi sakit.

“Terdakwa belum pernah dihukum. Dalam keadaan sakit, namun bisa mengikuti persidangan sampai akhir. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga,” ujarnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya

Simak Video: Lukas Enembe Tolak Vonis 8 Tahun Bui di Kasus Suap dan Gratifikasi

[Gambas:Video 20detik]

Lukas merespons putusan tersebut. Ia tegas menolak.

“Demikian putusan majelis hakim berdasarkan musyawarah, jadi atas putusan ini baik Saudara penuntut umum maupun Terdakwa dan penasehat hukum Terdakwa memiliki hak yang sama untuk menyatakan sikap apakah menerima putusan atau menolak putusan dengan mengajukan upaya hukum banding ya atau Saudara berpikir-pikir selama 7 hari itu hak Saudara ya, silakan untuk Terdakwa gimana sikap Saudara?” tanya Rianto.

“Beliau menyatakan menolak putusan hakim,” jawab kuasa hukum Lukas Enembe, Petrus Bala.

Petrus mengatakan pihaknya akan mengajukan upaya banding atas vonis tersebut. Sementara itu, jaksa KPK menyatakan akan pikir-pikir atas putusan tersebut.

“Itu hak, saya sudah jelaskan tadi kan punya hak yang sama demikian juga dengan penuntut umum KPK punya hak yang sama untuk menyatakan sikap. Gimana sikap Saudara?” tanya Hakim Rianto.

“Baik, terima kasih Yang Mulia. Atas putusan yang dimaksud kami menyatakan pikir-pikir,” kata jaksa KPK.

Dalam Dakwaan, Lukas Enembe didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar, namun dalam vonis, Hakim menyebut Lukas menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 19,6 miliar.

Untuk uang suap, hakim menyatakan Lukas terbukti menerima uang suap senilai Rp 17,7 miliar.

“Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Terdakwa telah menerima hadiah atau janji berupa uang sejumlah Rp 17,700,793,900,” kata hakim anggota Dennie Arsan Fatrika.

Hakim Dennie mengatakan uang itu diterima Lukas dari Piton Enumbi dan Rijatono Lakka. Dengan rincian uang dari Piton senilai Rp 10,4 miliar dan dari Rijatono Lakka Rp 7,2 miliar.

“Serta gratifikasi dari saksi Budi Sultan berupa uang sebesar Rp 1.990.000.000 selama Terdakwa menjabat selaku Gubernur Provinsi Papua periode 2013-2018 dan periode 2018-2023,” ujarnya.

“Maka sudah sepatutnya terhadap Terdakwa dibebankan kewajiban untuk mengembalikan uang yang diterimanya tersebut karena diterima secara tidak sah dan melawan hukum dengan total seluruhnya sebesar Rp 19.690.793.900,” imbuhnya.

Hakim menolak permohonan Lukas untuk membuka blokir rekening istrinya, Yulce Wenda, dan anaknya, Astract Bona Timoramo Enembe.

“Terhadap permohonan tersebut terkait pembukaan rekening istri terdakwa, Yulce Wenda, dan rekening anak Terdakwa, Astract Bona Timoramo Enembe, serta pengembalian aset-aset terdakwa, termasuk emas yang telah disita, haruslah dinyatakan ditolak,” kata hakim anggota, Dennie.

Hakim Dennie mengatakan barang bukti rekening itu masih digunakan oleh penuntut umum. Dia mengatakan permohonan Lukas tersebut tak dapat dikabulkan.

mengatakan salah satu tanah berisi bangunan hotel di Papua dikembalikan lantaran bukan hasil korupsi Lukas. Mulanya, hakim Rianto membacakan barang bukti nomor 722 dan 723 berupa sebidang tanah seluas 1.525 m² di Jayapura, Papua. Tanah itu terdiri dari bangunan hotel, dapur, dan lainnya.

“Menimbang bahwa terhadap barang bukti nomor urut 722 yaitu berupa sebidang tanah dengan luas 1.525 m² beserta bangunan di atasnya yang terdiri dari Hotel Grand Royal Angkasa, bangunan dapur dan bangunan lainnya yang terletak di Jl S Condronegoro, Kelurahan Angkasa Pura, Kecamatan Jayapura Utara, Kota Madya Jayapura Provinsi Irian Jaya sebagaimna diuraikan dalam sertifikat hak milik nomor 16 tahun 1999 Kelurahan Angkasa Pura, Kecamatan Jayapura Utara Kota Madya Jayapura Provinsi Irian Jaya atas nama pemegang hak Rijatono Lakka dan terhadap barang bukti nomor urut 723 yaitu berupa 1 bundle asli sertifikat hak milik nomor 16 atas sebidang tanah seluas 1.525 m² atas nama Rijatono Lakka yang terletak di Jl S Condronegoro, Kelurahan Angkasa Pura, Kecamatan Jayapura Utara, Kota Madya Jayapura Provinsi Irian Jaya berdasarkan surat ukur nomor 51 tahun 1999,” kata hakim Rianto.

Hakim Rianto mengatakan sertifikat tanah itu diperoleh jauh sebelum Lukas dilantik sebagai Gubernur Papua periode 2013-2018 dan periode 2018-2023. Dia mengatakan majelis hakim berpendapat tanah itu bukan hasil tindak pidana sehingga harus dikembalikan ke pemilik sertifikat tanah, yakni Rijatono Lakka.

“Menimbang bahwa sebagaimana fakta yang terungkap di persidangan bahwa perolehan sertifikat hak milik nomor 16 tersebut barang bukti nomor urut 723 diperoleh jauh sebelum terdakwa Lukas Enembe terpilih dan dilantik sebagai Gubernur Papua periode 2013-2018 dan periode 2018-2023 serta sertifikat tanah tersebut bukan atas nama Terdakwa. Sehingga dapat dipastikan bahwa perolehan sertifikat hak milik tanah tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana oleh karenanya barang bukti nomor urut 722 dan 723 harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu saksi Rijatono Lakka,” ujarnya.