LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -156 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang mampu menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat, tetapi Gubernur Suryo juga merupakan seorang orator yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Ia bukan personil militer. Tetapi ia memahami bahwa ia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Ia memahami peran kepemimpinan: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Ia mewakili rakyatnya. Ia telah menunjukkan contoh yang besar bagi generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo adalah bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Ia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari anak muda dan siswa madrasah Surabaya, melawan Tentara Inggris. Ini adalah peristiwa heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah begitu sulit diraih oleh Republik Indonesia.

Pertempuran besar melawan para pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsi 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai oleh kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang terbunuh dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir seminggu antara Brigade yang diperintah oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigade-nya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos terpencil di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang relawan. Ada pula kelompok bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela karena mereka terlalu tersebar tipis di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dilumpuhkan sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Hal ini tentu saja mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.

Seri pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dalam kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menebarkan pamflet dari udara agar semua warga Surabaya membacanya. Ultimatum menuntut bahwa semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak berhak membawa senjata menyerahkan senjatanya. Semua wanita dan anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Deadline yang diberikan untuk ultimatum itu adalah jam 6 sore. Jika perintah tidak dipatuhi, Tentara Inggris berjanji akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum ini menimbulkan kepanikan di kalangan warga Surabaya. Namun, kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang pada awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap berperang.

Gubernur Suryo meminta warga Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada para warga Surabaya.

Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luasnya, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang mampu bertahan dari serangan militer besar-besaran oleh pasukan asing. Bangsa yang ksatria ini tidak takut kepada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau, jika ia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini adalah sepenuhnya milik Gubernur Suryo.

Saat detik terakhir yang ditentukan oleh Inggris berlalu, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada warga Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak membara. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua yang mendengarkannya untuk mengangkat senjata membela Surabaya.

Sementara Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang menggugah semangat massa, nada tenang namun tegas dari Gubernur Suryo sama kuatnya. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘seruan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Kita hanya bisa membayangkan emosinya saat ia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Lebih sulit lagi untuk memahami, mengingat Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Namun, ia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Ia mewakili rakyatnya. Ia adalah harapan rakyatnya. Inilah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

Kami lebih memilih dihancurkan daripada dijajah lagi!

Saudara-saudari,

Para pemimpin kami di Jakarta telah berupaya sekuat tenaga untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, itu semua sia-sia. Sekarang terserah kepada kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan langkah selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, kita harus menegakkan dan mengafirmasikan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berkali-kali, kita telah menyatakan posisi kita: Kami lebih memilih dihancurkan daripada direkolonisasi. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kami akan mempertahankan sikap tersebut. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi segala kemungkinan esok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), polisi, pemuda, dan organisasi perlawanan masyarakat. Mari kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dan berkat serta petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link