Real Estat Indonesia (REI) memahami upaya pemerintah dalam menjalankan kewajiban Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk meningkatkan ketersediaan rumah bagi masyarakat. Namun, REI juga memahami penolakan yang besar dari masyarakat terkait aturan baru Tapera yang mengharuskan pemotongan gaji dari seluruh pekerja swasta.
“Tapera bertujuan untuk mendorong penyediaan rumah bagi masyarakat,” kata Ketua Umum DPP REI Joko Suranto saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta pada Jumat (7/6/2024).
Joko mengungkapkan bahwa ada sekitar 12,7 juta kepala keluarga yang belum memiliki rumah pada tahun 2020, yang dikenal sebagai backlog rumah. Angka ini sekitar 20 persen dari jumlah kepala keluarga di Indonesia.
Menurut Joko, upaya mengurangi backlog dalam beberapa tahun terakhir tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Backlog sebesar 12,7 juta kepala keluarga pada tahun 2020 hanya turun sekitar 10 persen dari backlog pada tahun 2010 yang mencapai 13,5 juta kepala keluarga.
“Masalahnya semakin besar terkait kebutuhan rumah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan anggaran atau pembiayaan, namun APBN kita terbatas,” tambah Joko.
Joko menyebut bahwa kemampuan pemerintah dalam menyediakan rumah murah melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih sangat terbatas. Alokasi rumah subsidi yang biasanya mencapai 300 ribu unit per tahun terus menurun menjadi 229 ribu unit rumah pada tahun lalu dan hanya 160 ribu unit rumah untuk tahun ini.
Joko juga menyampaikan bahwa pemerintah melihat konsep gotong-royong melalui kewajiban Tapera sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan anggaran penyediaan rumah. Namun, komunikasi yang kurang baik menjadi salah satu faktor yang membuat kebijakan ini mendapat kecaman keras dari publik.
Sebagai mitra pemerintah, REI akan terus mendukung upaya penyediaan rumah. Namun, REI juga akan memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan tersebut dapat diterima oleh semua pihak.
Dalam konteks penolakan yang terjadi sebelumnya, kami menyampaikan bahwa hal ini perlu dipertimbangkan karena adanya ketidakpercayaan terhadap pengelolaan pemerintah dan adanya penurunan daya beli masyarakat,” tambah Joko.