LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

by -113 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bercita-cita untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film box office suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan diri seperti itu memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan membuat kita menjadi bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin merupakan ujian terberat yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin menceritakan tentang Hario Kecik. Setelah membaca buku hariannya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa Tentara, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Beliau adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak mengerti politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Beliau adalah salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Beliau bagian dari Tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap pemuda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang mahasiswa, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira TNI bermarga tinggi.

Beliau sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya cenderung kiri; karena jiwanya populis, terbentuk oleh pengalamannya dalam perjuangan awal mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena ia pintar di sekolah dan lancar berbahasa Belanda dan Inggris. Ia berperang melawan Pasukan Sekutu dalam momen-momen krusial dan menentukan, dari Oktober hingga November 1945.

Ia memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling sengit dan paling berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, mengambilalih senapan, meriam, mesin-mesin, dan meriam Jepang. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara menembak meriam tersebut. Namun, kami tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan pasukan mereka dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah mereka yang membantu melatih pemuda-pemuda kita untuk menggunakan senjata-senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam anti-pesawat. Semua itu diceritakan dalam memoar Hario Kecik.

Pada 1 Oktober 1945, ia menuliskan bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud untuk merebut senjata-senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sepenuhnya sadar bahwa saya hanyalah seorang, hanya salah satu dari tentara biasa di tengah-tengah massa besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niat untuk maju bersama-sama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda-pemuda dari desa. Pakaian kami menunjukkan seberapa miskinnya kami.

Setelah merebut senjata-senjata, Hario Kecik mendirikan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), pendahulu korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Benar, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, diumumkan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Ini menguji apakah rakyat Indonesia sepenuhnya mendukung proklamasi kemerdekaan.

Dalam Pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 warga Indonesia gugur. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kita memiliki 30.000 korban utamanya karena keunggulan Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Pasukan Inggris mengirim lebih dari satu divisi, yang kira-kira berjumlah 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal penjelajah, dan meriam. Anda bisa membayangkan kekuatan dan kekuatan tembakan mereka yang lebih unggul dibandingkan dengan rakyat Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa tersebut, kita dapat melihat bahwa semua pihak di sisi Indonesia bersatu. Pemuda-pemuda bersatu dengan rakyat biasa, tukang becak, petani. Semua bergabung. Mereka merebut senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit-unit perlawanan. Beberapa telah bergabung dengan batalyon-batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri menjadi batalyon-batalyon resmi. Mereka adalah mantan batalyon PETA. PETA adalah pasukan sukarela yang diorganisir oleh Jepang, singkatan dari ‘Pembela Tanah Air’.

Ada juga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ada juga barisan pemuda, pasukan-pasukan dari berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari siswa madrasah dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok-kelompok yang terdiri dari mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok pada masa itu.

Kembali ke Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apa pun yang musuh tawarkan. Kami bukan ahli militer atau tentara profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan sebelumnya dalam suasana yang sulit untuk dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, gairah, semangat, kemarahan mentah di hati pemuda-pemuda yang berkumpul di tempat itu hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa oleh suasana tersebut. Semuanya dimulai saat saya bersama pemuda-pemuda, menggali parit pertahanan di halaman markas kita di Pasar Besar, ketika kami mendengar kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa markas kita sulit untuk dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, bentengnya yang lemah, dan faktor-faktor lainnya. Namun, para pemuda bertekad untuk mempertahankan markas hingga kehabisan tenaga.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya tunduk kepada ’emosi’ atau ‘semangat’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya punya beberapa jam untuk bersiap.

Malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dll. Kami siap, dan tidak ada seorang pun dari kami yang ragu sedikitpun.

Kami menyaring strategi-strategi rumit menjadi satu moto: Merdeka atau mati. Tak seorang pun mempertanyakan kekuatan musuh, dan tak seorang pun mempertanyakan kekuatan kami. Mungkin secara tidak sadar, kami semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat untuk khawatir tentang hal tersebut. Kami pasti harus bertempur melawan musuh keesokan harinya pun.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Semangat inilah yang memungkinkan kita mempertahankan kemerdekaan kita. Semangat inilah yang memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menyatukan kita sebagai bangsa. Itu mungkin adalah ujian paling berat setelah kemerdekaan.

Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa berada di Surabaya pada saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan teman-temannya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang selalu saya ajukan pada diri sendiri.

Karenanya, setiap kali saya memberikan kuliah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia teladan.

Kepahlawanan yang diwujudkan oleh Hario Kecik sangat jelas. Beliau memberikan contoh bagi generasi selanjutnya, contoh bagi setiap warga Indonesia.

Source link