LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

by -2063 Views
LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) HIMAWAN SOETANTO Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus berada di antara anak buahnya mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga tidur lagi di malam hari. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur mereka, kamar mandi hingga kualitas celana dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah membentuk kebiasaan untuk memeriksa detail dapur dan peralatan anak buah saya. Suatu kali, saya menemukan bahwa celana dalam putih para prajurit telah berubah menjadi cokelat. Saya juga mengetahui bahwa dapur menjadi sumber praktik korupsi paling besar. Bayangkan saja, satu kilogram daging diransang untuk 16 orang. Di TNI, hal ini dikenal sebagai ‘daging cukur’ karena dagingnya sehalus pisau cukur. Sungguh tragis. Itulah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah ketika saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Beliau bahkan bisa sedikit berbahasa Jepang, yang telah ia pelajari selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku sejarah. Sekali lagi, para tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca buku yang tekun. Seorang pemimpin adalah pembaca. ‘Pemimpin yang baik harus rajin membaca,’ seperti pepatah terkenal yang menyebutkan. Rumahnya dipenuhi dengan banyak buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, beliau selalu membahas buku dengan saya. Terkadang, beliau bertanya apakah saya telah membaca buku-buku karya B. H. Liddell Hart, seorang sejarawan militer Britania, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya.

Hal lain yang membuat saya terkesan adalah penampilan rapi beliau. Wajahnya selalu penuh senyuman. Beliau selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Beliau memiliki pengalaman bertempur yang panjang, dan hal ini terlihat dari sikapnya. Hal ini berbeda bagi mereka yang tidak memiliki banyak pengalaman bertempur. Mereka cenderung dingin dan jauh dari anak buahnya. Mereka selalu ingin tunduk pada aturan. Istilah yang kami gunakan di TNI untuk tipe tokoh seperti ini adalah berpikiran PUD atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Keuangan Dalam. Sementara itu, para pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat ada salah satu artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan satuan dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi masing-masing satuan. Itu berarti bahwa seorang komandan memiliki wewenang besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa komandan harus dekat dengan anak buahnya. Komandan harus bersama mereka dari fajar hingga senja. Komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga celana dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Suatu saat, saya pernah menemukan bahwa celana dalam para prajurit saya telah berwarna cokelat, bukan lagi putih. Saya juga belajar bahwa dapur telah menjadi sumber banyak praktik korup. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging cukur’, daging sehalus pisau cukur. Tragis. Itu adalah beberapa hal kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karier yang gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengan beliau. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah pensiun. Beliau adalah salah satu mentorku. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya mengunjunginya di rumah sakit. Putranya memberitahu saya bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin bertemu saya. ‘Dimana sang jenderal yang pernah bertempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal yang pernah bertempur”. Beberapa dari mereka mencoba mengetahui apakah ia mengacu pada Prabowo. Beliau mengangguk. Saya tersentuh mendengar ceritanya. Oleh karena itu, ketika saya datang untuk menjenguknya, saya berdiri tegak dan memberi hormat padanya. Saat itu, saya telah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kita sering berkomunikasi dalam bahasa Inggris, saya katakan kepadanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal sejati, Tuan!’ Air matanya berlinang. Saat itu, beliau tidak bisa berbicara lagi. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Merupakan suatu kehormatan bagi saya bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu saya di saat-saat terakhirnya.  

Letnan Jenderal TNI (Purn.) SARWO EDHIE WIBOWO Sarwo Edhie karismatik. Beliau tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau dikenal sebagai seseorang yang memimpin dari garis depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau terlibat di lapangan. Beliau adalah idola para mahasiswa, pemuda, dan idola kami, para perwira muda dan kadet. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Saat itu, beliau menanamkan semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme dalam diri kami. Beliau juga sempat menulis buku yang berjudul Hidupku Untuk Negara dan Bangsa. Nilai itu ditanamkan pada kami para Kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan pada warisan leluhur kami. Itulah yang Pak Sarwo tanamkan pada kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih menjadi seorang kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), tetapi beliau sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga merupakan sahabat dekat kedua orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada momen-momen kritis pada Oktober 1965 selama kudeta G30S/PKI. Beliau adalah sosok yang karismatik. Beliau tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau juga dikenal sebagai seorang komandan yang memimpin operasi dari garis depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau masih terlibat di lapangan, sehingga beliau juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering menceritakan pengalaman-pengalaman beliau. Saat itu, beliau menanamkan semangat keuletan dan patriotisme pada kami. Beliau juga menulis buku berjudul ‘Hidupku Untuk Negara dan Bangsa’. Nilai itu ditanamkan pada kami para kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan pada warisan leluhur kami, itulah semangat yang Pak Sarwo Edhie tanamkan pada kami. Setelah ia pensiun dari dinas aktif, beliau sebentar menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk sementara waktu, beliau juga menjadi Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BP7). Saya ingat betul bagaimana beliau menjaga sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai prajurit yang dikenal dengan kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan banyak harta ketika beliau wafat. Kebetulan, dalam perjalanan hidupnya, beliau menikahkan ketiga putrinya dengan lulusan AKMIL. Yang tertua dengan Kolonel Infanteri Hadi Utomo, angkatan 1970; yang kedua dengan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, angkatan 1973, yang kemudian menjadi Presiden keenam Republik Indonesia; dan yang termuda dengan Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga sangat mengenal ketiga perwira tersebut.

JENDERAL BESAR TNI (PURN.) ABDUL HARIS NASUTION Saya merasa beruntung untuk memiliki kesempatan luar biasa yang tidak banyak orang dapat alami di negara ini. Yaitu berbicara tatap muka dengan salah satu tokoh generasi ‘45, salah satu tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa seperti menjadi seorang murid dari seorang aktor sejarah. Beliau sering berbagi pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak lagi dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti halnya tokoh-tokoh generasi ’45 yang lain. Beliau…

Source link