Strategi Mengatasi Penyadapan Digital yang Efektif
Wakil Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Brigadir Jenderal I Made Astawa menyatakan bahwa kewenangan penyadapan telah diatur berdasarkan Undang-Undang dan melalui proses yang kompleks. Setiap lembaga yang melakukan penyadapan diberikan kewenangan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis kejahatan yang ditangani.
Made Astawa mengungkapkan hal tersebut dalam Seminar Mencari Titik Tengah Demokrasi: Antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil, yang diselenggarakan oleh Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Menurutnya, penyadapan harus melewati proses perizinan yang ketat dan mematuhi kode etik serta peraturan undang-undang yang berlaku. “Praktik penyadapan ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi dengan persetujuan pengadilan dan dalam kerangka hukum yang jelas,” ujarnya di Depok, Jawa Barat.
Sementara itu, Simon Runturambi, Ketua Program Studi Kajian Ketahanan Nasional SKSG UI menyoroti pentingnya tata kelola intelijen yang baik dalam penggunaan teknologi pengawasan. Ini termasuk kepemimpinan yang efektif dan pemahaman batasan kewenangan.
“Tujuannya adalah agar keamanan nasional terjaga tanpa mengorbankan kebebasan sipil,” tambahnya.
Laporan Amnesty International menjadi fokus pembahasan dalam seminar ini, yang memicu diskusi mengenai perlindungan data, kewenangan penyadapan, dan tata kelola intelijen yang baik.
Pembicaraan tersebut menyoroti kompleksitas isu yang terkait dengan penggunaan alat sadap atau spyware, yang melibatkan aspek teknis, hukum, etika, dan keamanan.
Acara ini bertujuan untuk merespons laporan terbaru dari Amnesty International yang menyebut adanya isu pembelian dan penggunaan spyware oleh pemerintah Indonesia.
Pada kesempatan tersebut, Asra Virgianita, Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI menekankan pentingnya seminar dan mendorong peserta untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi dengan para pembicara.
“Topik seminar ini sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks keamanan nasional dan kebebasan sipil,” katanya.
Sementara itu, Sulistyo dari Badan Siber dan Sandi Negara menegaskan bahwa dari tiga bentuk ancaman terhadap data, penggunaan spyware berkaitan dengan pencurian data. “Pada dasarnya potensi penyalahgunaan sangat minim.”
Para ahli yang hadir dalam seminar memberikan berbagai perspektif tentang bagaimana merespons laporan Amnesty International secara efektif. Seminar ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tantangan yang dihadapi dalam mengatasi isu penggunaan spyware, sekaligus membuka pintu bagi langkah-langkah lanjutan dalam menangani isu tersebut.
Sumber: https://mediaindonesia.com/jabar/berita/674963/jurus-menghadapi-ancaman-penggunaan-alat-sadap-dan-keamanan-digital-di-era-modern