Pemerintah China siap melakukan konsultasi untuk membicarakan Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct atau COC) Laut China Selatan dengan negara-negara anggota ASEAN. Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning, China berharap negara-negara ASEAN akan bekerja sama dengan mereka untuk mencapai target yang ditetapkan dan mempercepat konsultasi untuk penerapan COC.
Sebelumnya pada 9 Januari 2024, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi juga menyatakan kesiapan untuk bekerja sama dengan seluruh negara anggota ASEAN, termasuk Filipina, untuk menyelesaikan COC Laut China Selatan secepatnya. Perselisihan antara Filipina dan China terutama terjadi di wilayah perairan Laut China Selatan, terutama di dekat pulau karang yang disebut China sebagai “Ren’ai Jiao” sementara Filipina menyebutnya sebagai “Beting Ayungin” yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly.
Mao Ning menyatakan bahwa China dan negara-negara ASEAN tengah berupaya untuk mengadopsi Pedoman Tata Perilaku di Laut Cina Selatan yang merupakan langkah penting dalam mengimplementasikan Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct atau DOC) di Laut Cina Selatan.
Konsultasi antara pemerintah China dengan negara-negara ASEAN mengenai COC berjalan lancar. Pembahasan tahap kedua telah selesai dan pembahasan tahap ketiga telah dimulai. Para pihak telah mengadopsi pedoman untuk mempercepat konsultasi mengenai COC.
Mao Ning menegaskan bahwa perselisihan mengenai Laut Cina Selatan sangat kompleks dan menghadapi campur tangan pihak luar. China berkomitmen untuk menangani perselisihan dengan baik melalui dialog dan konsultasi dengan negara-negara terkait, serta ingin bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan.
China juga akan dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan maritimnya. Mao Ning menegaskan bahwa tidak ada negara yang tidak berada di kawasan yang berhak ikut campur dalam sengketa maritim antara China dan Filipina.
China mengakui kedaulatannya atas hampir seluruh wilayah di Laut China Selatan dengan menyebutnya sebagai kawasan “Nine-Dash Line” yang meliputi sebagian zona ekonomi eksklusif (ZEE) Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina dan Vietnam.
Negara-negara ASEAN dan China telah menyepakati Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct atau DOC) pada 2002. Pada tahun yang sama, COC mulai dirundingkan, menandai pertama kalinya China menerima perjanjian multilateral mengenai isu tersebut. Setelah 17 tahun berunding, ASEAN-China menyepakati naskah yang akan dirundingkan dan dimulai pada 2019. Namun akibat pandemi, perundingan terhenti pada 2020-2021 sehingga baru pada 2022, perundingan dimulai kembali.
Filipina yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat (AS) memberikan akses kehadiran militer AS di empat pangkalan di negara tersebut sehingga menjadikan mereka dapat berhadapan langsung dengan militer China yang secara aktif hadir di Laut China Selatan dan bahkan membayangi Taiwan.
Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional, atas permintaan Filipina, memberikan fatwa bahwa daratan hasil reklamasi di Laut China Selatan tidak bisa dijadikan dasar klaim perairan. China menolak mengakui fatwa itu karena menilai tidak punya dasar hukum, sementara Indonesia dan berbagai negara lain menerimanya. Pengadilan Arbitrase Permanen pada 2016 juga mengatakan klaim China itu tidak memiliki dasar hukum.
Pada November 2023, Filipina mengajukan COC baru bagi kestabilan dan perdamaian di wilayah sengketa Laut China Selatan setelah negosiasi yang berkepanjangan antara ASEAN dan China tentang COC di Laut China Selatan. Filipina juga mencari dukungan dari negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia untuk membentuk kode etik kelautan yang akan menjaga perdamaian di Laut China Selatan.