Kenaikan pajak yang direncanakan oleh pemerintah dapat menyebabkan peningkatan beban bagi masyarakat sebagai pengguna produk jasa dan produk industri. Dampaknya adalah menurunnya daya beli masyarakat dan berpotensi mengganggu perekonomian nasional. Bambang Haryo Soekartono dari DPP Gerindra mengungkapkan kekhawatiran terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2026, yang dianggap akan memberatkan masyarakat dan pelaku usaha. Contohnya, jika PPn naik 1 persen untuk bahan baku kue, maka harga kue juga akan naik lebih dari 1 persen. Hal ini dapat membuat masyarakat menunda atau mengurangi pembelian kue, serta mengalihkan uang untuk kebutuhan yang lebih penting. Kenaikan harga barang dan jasa juga dapat menyebabkan pendapatan masyarakat tidak mencukupi untuk kebutuhan dasar mereka. Bambang Haryo Soekartono menilai bahwa pajak yang dikenakan saat ini sudah terlalu banyak, seperti PPN, PPH Pribadi, Pajak Perizinan, Pajak Daerah, Pajak Lingkungan, Pajak Karyawan , PNBP, dan pajak lainnya. Dia berpendapat bahwa pemerintah seharusnya mempertimbangkan menurunkan pajak untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat menurun, hal ini juga akan mempengaruhi konsumsi, sehingga penting untuk meninjau ulang besaran pajak yang berlaku. Disamping itu, Bambang Haryo Soekartono juga menekankan bahwa pemerintah harus lebih teliti dalam pengawasan terhadap wajib pajak untuk mencegah kecurangan antara wajib pajak dan petugas pajak. Selain itu, diharapkan ke depannya, penanganan pajak oleh lembaga yang langsung di bawah presiden dapat lebih efisien tanpa harus menambah beban pajak pada masyarakat.
Potensi Dampak Kenaikan Pajak B. Haryo: Kurangi Daya Beli?
