Bung Karno dan Prestasi Kecap Nomor Satu di Seluruh Dunia

by -213 Views
Bung Karno dan Prestasi Kecap Nomor Satu di Seluruh Dunia

Malaysia tidak memiliki sejarah kecap manis dan hanya meniru Indonesia dalam pembuatan Kecap Nomor Satu di Dunia. Kurang dari tiga tahun yang lalu, di Frankfurt Book Fair, Jerman, pameran buku terbesar di dunia, almarhum Bondan ‘Maknyus’ Winarno mempresentasikan buku hasil karyanya, Kecap Manis: Indonesia’s National Condiment. Melalui buku yang dikemas eksklusif, setebal 300 halaman, dan diterbitkan oleh Afterhours Book ini, Bondan ‘memproklamasikan’ bahwa kecap manis merupakan warisan kuliner asli Indonesia. Buku Bondan dijual dengan harga Rp 990 ribu. Namun, buku yang mengupas tuntas tentang kecap, apalagi khusus kecap manis memang barang langka. “Ini buku yang sangat bagus,” kata Lutfi Ubaidillah, 39 tahun, seorang pengusaha swasta asal Bandung. Lutfi bukan sekadar penggemar kecap biasa. Dia adalah seorang ‘penggemar berat’ kecap, terutama kecap manis. “Saya selalu membawa sachet kecap ke mana-mana. Bahkan di kantor, saya selalu menyediakan botol plastik kecap,” ungkap Lutfi. Sejak kecil di Bandung, dia mengungkapkan, kecap manis sudah menjadi menu wajib di atas meja makan di rumahnya. Dia adalah penggemar kecap yang sangat serius. Tidak hanya harus makan dengan kecap, dia juga seorang kolektor botol kecap dari berbagai daerah di Indonesia dan menjalankan blog khusus Kecap Nomor Satu di Dunia, yaitu Wikecapedia. Semasa hidupnya, Bondan, mantan wartawan yang memiliki hobi kuliner, juga sempat mengoleksi kecap-kecap nusantara. Koleksinya sudah mencapai lebih dari seratus merek, di antaranya Kecap Blitar, kecap Zebra dari Bogor, Sawi dari Kediri, Bentoel dari Banyuwangi, Kambing Dua dari Singkawang, kecap Buah Kelapa dari Sumenep, dan Roda Mas dari Banjarmasin. Mungkin tidak banyak penggemar kecap sekaligus kolektor botol kecap seperti Bondan, Lutfi, Chef Alifatqul Maulana, dan Andrew Mulianto. Namun, seharusnya, banyak sekali penggemar kecap di seluruh Indonesia. Tidak heran jika ada ratusan perusahaan kecap yang tersebar dari Medan, Bangka, Garut, Pangandaran, Majalengka, Singkawang, Sumenep di Pulau Madura, hingga Banyuwangi. Bahkan sebagian merek kecap, sudah bertahan hingga beberapa generasi. Dari merek-merek besar seperti Bango, Indofood, dan ABC, hingga kecap rumah tangga yang hanya dikenal di daerah tertentu seperti kecap cap Pulau Djawa di Pekalongan, kecap Kentjana di Kebumen, atau kecap Tin Tin asal Garut, Jawa Barat. Di antara industri kecap turun-temurun itu adalah kecap Maja Menjangan di Majalengka, Jawa Barat, dan kecap Cap Tomat Lombok dari Tegal, Jawa Tengah. Didirikan oleh Saad Wangsawidjaja pada tahun 1940, kini usaha kecap Maja Menjangan sudah diwariskan ke generasi kedua. Dulu saat memulai usaha, Saad menjajakan kecap buatannya dari pasar ke pasar di Majalengka dan daerah sekitarnya. Melalui perjalanan puluhan bahkan ratusan kilometer, kecapnya laku terjual. “Ayah saya bersepeda sampai ke Indramayu yang berjarak 70 kilometer dari rumah ini,” kata Suhardi, putra Saad, kepada DetikX. Meski sempat meraih kesuksesan pada tahun 1990-an, kecap Maja Menjangan, juga kecap-kecap lokal lainnya, semakin terdesak oleh merek-merek besar. Namun, pengusaha-pengusaha kecap ini tidak mudah menyerah. Meskipun masih terus menghadapi kerugian, Suhardi yang kini mengelola Maja Menjangan tetap memilih untuk melanjutkan usaha tersebut. Beberapa kali, perusahaan-perusahaan besar datang menawarkan kerjasama dan suntikan modal besar kepada pemilik Maja Menjangan dan kecap Tomat Lombok. Namun, mereka tidak mau menyerahkan usaha warisan tersebut. “Mereka menanyakan, apakah produksi sebanyak 120 ribu botol per hari sudah siap? Jika tidak siap, mereka akan memberikan modal untuk produksi dalam skala lebih besar,” cerita Sumarnoto Hadisuwono, generasi ketiga pemilik kecap Cap Tomat Lombok. Sebaliknya, Sumarnoto merasa khawatir dengan proposal bisnis menarik dari perusahaan-perusahaan besar tersebut. “Saya khawatir tidak bisa mengikuti mereka, dan malah terjebak.” Pada pertengahan tahun 1960-an, Presiden Sukarno mengundang sejumlah wartawan di Jakarta ke Istana. Di dapur Istana, hanya ada sepiring nasi goreng yang sudah dingin dan dua butir telur. Bung Karno hanya tersenyum saat mendengar penuturan pelayan Istana tersebut, bahwa hanya nasi goreng dan telur yang tersedia di dapur. Dia meminta pelayan untuk membawa sebotol kecap untuk menambah nikmat makanan tersebut. Tak lama kemudian, pelayan membawa sebotol besar kecap. “Ini kecap paling enak di dunia. Ini kecap dari Blitar,” kata Bung Karno, seperti dikutip mantan wartawan Susanto Pudjomartono dalam tulisannya belasan tahun yang lalu. Meskipun lahir di Surabaya, Bung Karno dibesarkan di Blitar, Jawa Timur. Bagi mereka yang “tidak bisa hidup tanpa kecap,” seperti halnya kopi, masing-masing merek kecap memiliki ciri khasnya sendiri, tergantung dari bahan baku dan cara pengolahannya. Di Korea Selatan, kecap disebut ganjang. Orang Jepang menyebutnya shoyu, dan orang-orang Melayu menyebutnya kicap. Di negerinya, Tiongkok, kecap dipanggil jiang yu. John Locke, filsuf asal Inggris, menulis catatan tentang saio, saus kental dari Asia Timur, pada tahun 1679. William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, dalam History of Soy Sauce, menulis bahwa perusahaan dagang Belanda VOC pertama kali mengangkut shoyu dari Pelabuhan Deshima, Nagasaki, Jepang, ke Batavia di Hindia Belanda, pos dagang utama VOC di Asia Tenggara, pada 16 Oktober 1647. VOC menyebutnya soije. Usia kecap sendiri sudah jauh lebih tua. Menurut beberapa catatan, kecap sudah dikenal di Tiongkok sekitar abad ke-3. Istilah kecap sendiri, menurut catatan VOC, juga sudah digunakan pada pertengahan tahun 1600-an. Shurtleff menduga, asal muasal kata kecap diserap dari dialek Hokkian, sub-dialek Zhangzhou di daerah selatan Cina daratan. Namun, banyak informasi yang hilang tentang bagaimana kecap asin yang encer dari Tiongkok dan Jepang berubah menjadi kecap manis yang kental di Indonesia. Di Indonesia, dari barat hingga timur, kecap manis memang jauh lebih populer dibandingkan kecap asin. Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan kecap manis dibuat di Nusantara. Ada beberapa pabrik kecap tua yang masih bertahan hingga saat ini, seperti Kecap Benteng Cap Istana dari Kota Tangerang dan Kecap Cap Orang Jual Sate dari Probolinggo, Jawa Timur. Dua merek kecap ini telah berusia lebih dari seabad. Namun, tidak jelas apakah kedua pabrik ini sudah memproduksi kecap manis sejak awal beroperasi. Sebelum wafat, almarhum Bondan Winarno menulis tentang kecap manis dalam bukunya yang berjudul Kecap Manis: Pusaka Kuliner Nusantara. “Kecap manis dapat disimpulkan merupakan produk khas Indonesia – secara lebih khusus: Jawa. Di Negeri Tiongkok sendiri tidak ada kecap manis, begitu juga di negara-negara Asia lainnya,” tulis Bondan. Sebagian besar merek kecap yang ada di Indonesia berasal dari berbagai kota di Jawa. Di Malaysia, memang ada satu-dua perusahaan yang memproduksi ‘kicap lemak manis’ seperti Cap Jalen, Cap Kipas Udang, Adabi, dan Mudim. Namun, menurut Bondan, kecap manis mereka lebih kurang kental dan lebih kurang gelap. Pemasarannya juga terbatas. Dia menduga, perusahaan-perusahaan Malaysia tersebut hanya meniru kecap manis yang berasal dari Indonesia. “Malaysia tidak memiliki sejarah kecap manis dan hanya meniru Indonesia dalam pembuatan kecap manis.”

Source link