Mantan Narapidana Korupsi Berpartisipasi dalam Pemilu 2024 dan Kontroversi tentang Kuota Perempuan

by -79 Views
Mantan Narapidana Korupsi Berpartisipasi dalam Pemilu 2024 dan Kontroversi tentang Kuota Perempuan

Sebanyak 56 mantan terpidana korupsi masih ambil bagian sebagai peserta dalam Pemilu 2024. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, partisipasi para mantan penilap uang negara untuk dipilih dalam pesta demokrasi tersebut menandakan kegagalan partai politik dan penyelenggara pemilu dalam memberikan harapan pemberantasan korupsi pada masa mendatang.

“Masih banyaknya para mantan napi korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI, DPRD, maupun DPD itu menunjukkan rendahnya kesadaran pemangku kepentingan menjamin pemenuhan nilai-nilai integritas dalam Pemilu 2024,” kata peneliti ICW Kurnia Ramdhana dalam siaran pers ICW yang diterima wartawan di Jakarta, Senin (6/11/2023).

Dari pemutakhiran data peserta Pemilu 2024, ICW mencatat sebanyak 56 mantan narapidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di pusat maupun di tingkat daerah. Di level DPD terdapat tujuh nama mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri. Dua di antaranya adalah Patrice Rio Capella dan Emir Moeis.

Rio Capella mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari Provinsi Bengkulu. Rio Capela adalah mantan sekjen Partai Nasdem yang pernah dipenjara terkait korupsi penerimaan gratifikasi penanganan perkara bantuan daerah di Sumatra Utara (Sumut). Sedangkan, Emir Moeis mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Emir Moeis adalah mantan politikus PDIP yang pernah dipenjara karena korupsi pembangunan PLTU Lampung.

Sementara di level DPR RI, ICW mencatat ada sebanyak 27 nama mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri dalam Pemilu 2024. Terbanyak dari Partai Golkar sebanyak enam nama. Menyusul lima nama dari Partai Nasdem, empat nama dari PKB, dua dari Hanura, tiga dari Demokrat, empat dari PDIP, dua dari Perindo, dan satu nama dari PPP.

Dari 27 nama tersebut, ICW mengungkapkan beberapa nama, di antaranya Susno Duadji, mantan kepala Bareskrim Polri yang melaju sebagai anggota DPR RI dari PKB untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatra Selatan (Sumsel) II. “Susno Duadji adalah mantan terpidana korupsi dana pengamanan pemilu kepala daerah Jawa Barat 2009,” ujar Kurnia.

Ada juga nama Rokhmin Dahuri, politikus PDIP yang melaju kembali sebagai caleg dari Dapil Jabar VIII. “Rokhmin Dahuri adalah mantan terpidana korupsi dana nonbajeter departeman kelautan dan perikanan,” kata Kurnia.

Selanjutnya nama Al-Amin Nasution, yang kali ini melaju sebagai caleg PDIP dari Dapil Jateng VIII. “Al-Amin adalah mantan terpidana suap alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan,” ujar Kurnia.

Nama politikus Partai Golkar Nurdin Halid pun kembali mencalonkan diri dalam Pileg 2024 dari Dapil Sulawesi Selatan (Sulse) II. “AM Nurdin Halid adalah mantan terpidana korupsi dan hibah pemekaran Kabupaten Maybrat tahun 2009,” kata Kurnia.

Ada juga nama Wa Ode Nurhayati, mantan anggota Komisi VII DPR RI yang kembali mencalonkan diri sebagai caleg dari Dapil Sulawesi Tenggara (Sultra) melalui Partai Hanura. “Wa Ode Nurhayati adalah mantan terpidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam suap dana penyesuaian daerah dan infrastruktur daerah,” ujar Kurnia.

Sementara di level DPRD, ICW mencatat ada 22 nama mantan terpidana korupsi yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerah. Paling banyak dari Hanura, dengan enam nama. Menyusul Golkar dan PPP dengan masing-masing mencalonkan tiga nama mantan koruptor.

Selanjutnya Nasdem, PKB, Demokrat, dan Perindo masing-masing mengusung dua calon mantan terpidana korupsi. Dan PKS, PDIP, PBB, dan Partai Buruh tercatat menyorongkan masing-masing satu nama eks napi korupsi untuk melaju ke DPRD.

Caleg perempuan

Caleg DPR Pemilu 2024 tak mencapai 30 persen di sejumlah dapil. Meski pemenuhan kuota 30 persen itu bersifat wajib, KPU RI mengaku tak bisa menjatuhkan sanksi kepada partai politik yang melanggar. Tak terpenuhinya kuota 30 persen perempuan itu tampak dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR yang ditetapkan KPU pekan lalu. Berdasarkan penelusuran acak yang dilakukan pegiat sekaligus dosen hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, ditemukan masih banyak daftar calon yang tak memenuhi kuota 30 persen.

Di Dapil Bengkulu yang memperebutkan empat kursi anggota DPR, ternyata Partai Golkar, PKB, Partai Hanura, Partai Demokrat, dan Partai Ummat mencalonkan satu perempuan dari empat calon yang diusung. Artinya, keterwakilan perempuan hanya 25 persen.

Di Dapil Aceh 1 yang memperebutkan tujuh kursi anggota DPR juga serupa. Tercatat hanya Partai Buruh, PKS, Partai Hanura, Partai Garuda, PAN, PSI, Perindo, dan PPP yang memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. 10 partai politik lainnya tak memenuhi kuota 30 persen di dapil tersebut.

Titi menjelaskan, pemenuhan kuota 30 persen caleg perempuan di setiap dapil itu merupakan amanat Pasal 245 UU Pemilu. Ketentuan tersebut juga sudah dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa, “dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.

Keterwakilan perempuan sebesar 30 persen itu, kata Titi, bukan secara rata-rata nasional, melainkan harus dipenuhi di setiap dapil. Ketentuan ini sudah diberlakukan sejak Pemilu 2014 dan 2019. “Ketika itu kalau ada partai yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam daftar caleg (di suatu dapil), maka partai didiskualifikasi dari kepesertaan pemilu di dapil tersebut,” kata Titi.

Dia pun mengkritik keras KPU RI yang tetap memperbolehkan partai politik memperebutkan kursi anggota DPR di sebuah dapil meski gagal memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. “Tentu ini sangat ironis. KPU justru menjadi aktor pelemahan keterwakilan perempuan politik pada Pemilu 2024,” ujarnya.

KPU telah membangkang terhadap perintah UU dan juga putusan MA. TITI ANGGRAINI, Dosen Hukum Kepemiluan UI.

Titi menegaskan, KPU tidak bisa berdalih bahwa tidak ada ketentuan sanksi bagi partai yang tidak mengusung 30 persen perempuan di suatu dapil. Sebab, pemenuhan kuota 30 persen itu adalah persyaratan wajib ketika pengajuan calon. “Jika KPU tetap meloloskan, dapat dikatakan KPU telah membangkang terhadap perintah UU dan juga putusan MA,” kata pembina pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.

Sementara itu, Komisioner KPU RI Idham Holik kembali menegaskan pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari bahwa secara akumulatif rata-rata nasional, keterwakilan perempuan sudah 37,13 persen. Ketika ditanya sanksi apa yang diberikan kepada partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen di sejumlah dapil, Idham menyebut tidak ada hukuman yang bisa diberikan.

“Pasal 245 dan Pasal 246 Ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 beserta penjelasannya menjelaskan demikian (bahwa tidak ada konsekuensi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan di suatu dapil),” kata Idham.

Pada Jumat (3/11/2023), KPU RI menetapkan 9.917 orang masuk DCT anggota DPR Pemilu 2024. Terdiri atas 6.241 caleg laki-laki dan 3.676 perempuan. Mereka secara keseluruhan diusung 18 partai politik untuk bertarung di 84 dapil.