Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi, Munafrizal Manan, menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang jelas terkait dengan wacana bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan dapat dibatalkan. Menurutnya, MK adalah lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, tidak ada upaya hukum yang bisa menilai putusan MK tersebut tidak sah dan membatalkannya.
Munafrizal menjelaskan bahwa pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang memerintahkan hakim untuk mengundurkan diri jika memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK. Hal ini dikarenakan terdapat benturan norma hukum antara ketentuan yang lebih tinggi (UUD NRI Tahun 1945) dan yang lebih rendah (UU Kekuasaan Kehakiman). Menurutnya, hukum yang lebih rendah tidak dapat menghapuskan hukum yang lebih tinggi.
Selain itu, Munafrizal menyatakan bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang serta pembatalan putusan MK dalam UUD NRI Tahun 1945, UU Mahkamah Konstitusi, ataupun Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di MK. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa perdebatan yang muncul di masyarakat terkait putusan MK tersebut menunjukkan perlunya perbaikan internal MK dengan menyempurnakan hukum acara dan tata kelola penanganan perkara agar lebih jelas dan tegas.
Munafrizal juga menyarankan bahwa MK perlu membuat pedoman baku mengenai penerapan judicial activism dan judicial restraint sebagai panduan bagi hakim konstitusi dalam menjaga konsistensi putusan MK dan kepastian konstitusional.
Pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah, MK mengabulkan sebagian gugatan yang meminta syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah. Putusan ini telah menjadi kontroversi karena diduga sarat dengan konflik kepentingan. Sebagai tanggapan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah membentuk rapat klarifikasi terkait laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Munafrizal mengakui bahwa kontroversi atas putusan perkara yang diputus oleh lembaga peradilan adalah hal yang biasa karena ada pihak yang puas dan tidak puas. Namun, dia meyakini bahwa hakim konstitusi memiliki independensi dalam